Sunday, September 10, 2006
Berujung di lantai IIIB Bontang….
Ternyata keluhan yang sempat saya tulis di artikel Sakit Leher, harus berujung di lantai IIIB Bontang.. dimana tempat itu? Di kota Bontang kah? Hehehe… gak perlu pakai pesawat kok, karena lokasinya juga gak jauh sih dari Jakarta, masih di sekitaran Blok M di jalan Kyai Maja… ya itu tempat salah satu ruangan rawat inap di RS. Pertamina… :(

Saya sama sekali tidak menduga jika harus pakai acara overstay di RS, walaupun saya pernah juga menginap di RS pada tahun 1990 karena sakit mata di sebelah kiri, istilahnya coratitis avunacoid (maaf kalau salah, soalnya lupa-lupa ingat) pokoknya itu penyakit karena disebabkan oleh virus di syaraf mata, sehingga waktu itu mata saya menonjol keluar dan meradang, tapi tetap saja itu pengalaman yang sangat tidak menyenangkan.

Ok, untuk kasus yang sekarang, seperti yang sudah saya paparkan, bahwa saya mengalami sakit leher, tidak bisa menengok ke kiri (awalnya) dan ke kanan (setelah rasa sakitnya mencoba membuat keseimbangan…). Awalnya dikira hanya salah bantal atau masuk angin yang bisa hilang rasa sakitnya dalam 2 atau 3 hari setelah di treatment dengan kerokan dan pijat. Namun rupanya treatment yang sudah saya lakukan itulah yang membawa saya kudu ‘beristirahat’ di RS. Di hari senin siang tanggal 4 September 2006, saya mencoba untuk cari tahu apa penyebab rasa sakit yang saya derita, sambil sekalian curhat diblog, ternyata memang dokter adalah jalan terakhir yang harus saya tempuh… (malu juga ama Elora yang nggak takut kena jarum suntik…:)), akhirnya diputuskan untuk mencari dokter di RS terdekat dari kantor. RS. Pertamina yang dipilih karena dokternya sedang praktek sampai jam empat sore, sedangkan di RS lain banyak yang prateknya mulai di sore hari dan lokasi dekat dengan kantor.

Dr. Koes Aryanti, Neurologist yang saat itu sedang praktek, akhirnya saya datangi, setelah periksa tensi (120/70), saya dipukuli dengan palu kecil di setiap persendiannya, ngilu… dan saat dokter memegang pundak saya, dia berujar bahwa pundak saya sudah seperti besi, keras dan kaku sekali, pijat sana sini, akhrinya dokter memperkirakan bahwa ada syaraf leher saya yang terjepit atau syaraf lehernya meradang, cervical syndrome . Dokter tidak bersedia asal suntik, seperti yang saya harapkan setelah mengumpulkan keberanian, soalnya itu dapat mengakibatkan hal yang lebih fatal. Dokter mengharuskan saya untuk di periksa intensif dan detail dulu, dan setelah kami diskusikan bahwa saya di cover asuransi Allianz dari kantor, dokter lebih bersemangat lagi untuk mengharuskan saya tinggal. Lebih baik cek semuanya, saya khawatir ini penjepitan syaraf sudah mencapai ujung leher, yang notabene bersinggungan dengan syaraf otak. Untuk mengetahuinya harus melalui Magnetic Resonance Imaging (MRI) yang mahal sekali, kalau tidak menginap biaya yang sekitar 2,9 juta harus saya keluarkan dari kocek sendiri. Jika penjepitan yang kita khawatirkan terjadi, operasi adalah salah satunya jalan, tidak ada yang lain! Hwaaaaaaaaaa sambil menahan sakit saya telepon rekan di kantor untuk mendiskusikan ini, akhirnya disepakati bahwa saya akan mengikuti saran dokter. Tidak ada jalan lain…

Pukul empat sore saya sudah terbaring di Ruangan Batayan Lt 4 ruangan 415, karena ruangan yang sesuai dengan pagu biaya kamar tidak tersedia, penuh. Diruangan yang berisi lima orang, dengan sakit yang berbeda, plus karakter orang yang berbeda harus saya lewati dengan sabar. Seperti contohnya di depan bed ada seorang ibu yang hobinya telp dengan suara yang amat keras… awalnya asik juga, saya bisa nguping sambil mereka-reka apa dan siapa sih sih dia … soalnya ada percakapan.. Bapak kesininya malam saja, waktu suami saya nggak ada, soalnya kalau suami saya tau pasti marah…. Coba!!! Lagi apa sih tuh si Ibu! Hehehe.. namun akhirnya kuping saya malah jadi pengang dan kepala menjadi sakit, dan itu membuat saya lebih merasakan sakit dan drop. Betul saja, ketika di cek tensi langsung terjun ke 90/60. Malam pertama dilalui dengan menahan rasa sakit, suster belum memberikan obat, karena belum ada instruksi dari dokter. Saya jadi tidak bisa tidur.. antara sakit dan gelisah…..

Saya harus puasa dari jam 10 malam untuk pengambilan darah dan urine test besok paginya sekitar jam 6 pagi. Terbayang kan, baru dibangunin suster, langsung di ambil darah dan saya harus segera ke kamar mandi untuk mengambil urine. Pusing sekali… sedikit terhuyung-huyung dan terasa mual sekali saat itu. Saya harus kuat karena tidak ada yang menemani saya saat itu….Pukul 9 waktunya dokter visit, saya keluhkan tidak bisa tidur karena sakit sekali… dokter bilang, lha kok nggak bilang suster? Suster pasti akan telpon saya dan pasti saya anjurkan untuk diberikan valium agar pasien bisa tidur, saya katakan ok, nanti seandainya terjadi di malam-malam mendatang saya akan minta obat tidur ke suster… (tapi nggak boleh dibungkus bawa pulang ya Dok? Wakakaakkkkk). Tiga puluh menit kemudian dilakukan foto scan dan langsung memulai fisiotherapy setelah di konsultasikan dengan dokter paramedic teraphy. Saya harus di terapi sebanyak 6 kali dengan cara dipanaskan dan di setrum di daerah yang sakit. Ada perubaan yang cukup berarti juga setelah saya menjalani terapi ini. Sangat terasa otot mengendur perlahan…. Namun sayang, jika jadwal fisioterapi ini tiba, yang membuat saya malas adalah tempatnya yang sangat jauh dari gedung rawat inap. Kami diharuskan keluar ruangan, melewati loby utama dan tempat parkir, sehingga semua pasien yang mendapat layanan fisioterapi ini mendapatkan bonus yaitu debu dan asap knalpot. Nggak terbayang juga jika masa penghujan tiba.. betapa repotnya, terutama para suster yang mendorong kursi roda di tanjakan menuju gedung fisio sambil memegang paying kali ya…. (catatan: saya mengeluhkan juga hal ini di kuesioner yang pihak RS berikan sebelum saya pulang).

Siang harinya, saya dipindahkan kamar ke Lt III Bontang di ruangan 349, hanya berisi dua bed, satu bed masih kosong, sampai akhirnya satu hari sebelum saya pulang, barulah bed itu terisi oleh suster RSPP juga yang mendapatkan musibah ‘tercium’ kopaja di depan walikota, sehingga kepalanya benjol. Betul saja, saya akhrnya bisa beristirahat dengan tenang di ruangan itu. Sore harinya suster membawa labu infus, dan memberitahukan bahwa dokter tidak mau memberikan obat langsung, karena obatnya itu sangat keras, dan karena ternyata saya (lagi-lagi baru tau…) punya problem asam lambung, sehingga obatnya itu diberikan via infuse sebanyak dua ampul obat itu di suntikan ke Infusan Ka.en.3A (500) + Remopain 2A. Hasil tes darah menjelaskan bahwa saya masih dalam taraf normal, hanya saja leukositnya yang tinggi yakni 11.000 dari yang ukuran normal max. 10.000, itu mengindikasikan bahwa memang adanya peradangan atau virus di tubuh saya.

Besok malamnya saya menjalani pemeriksaan MRI, setelah pihak RS asuransi memberikan persetujuan kepada pihak RS. Pemeriksaan dilakukan di sebuah kamar khusus dan sebelumnya saya diberikan penjelasan oleh suster, seperti bahwa saya akan dimasukan kedalam suatu kapsul besar, nanti akan terdengar suara gemuruh yang berbeda-beda, diusahakan untuk jangan bergerak atau batuk sedikitpun karena itu akan mempengaruhi hasil foto, jika demikian pemeriksaan harus diulang, didalam pandangan akan terbatas, dianjurkan agar saya menutup mata saja dan waktunya sekitar tidak lebih dari 15 menit. Penjelasan rinci itu membuat saya agak nervous, setelah dilucuti semua benda yang menempel di tubuh, saya diselimuti oleh selimut hangat setelah berbaring di alas kasur tipis, dada ditutup oleh semacam tameng yang melekat di dada, saya dipasang earphone, lagu My Way itu yang pertama saya dengar… saya berusaha untuk konsentrasi ke lagu yang saya dengar, terasa saya mulai didorong dimasukan kedalam kapsul MRI, ternyata hanya sebatas pinggul saja. Betul saja, setelah terdengar aba-aba dari suster saya mendengar suara gemuruh yang amat keras terdengar diselingi oleh berbagai macam suara keras yang berbeda-beda. Saya bertahan untuk tidak bergerak dan batuk sedikitpun, saya nggak mau di-her! Setelah diberitahu, bahwa pemeriksaan selesai, saya penasaran ingin sekali untuk membuka mata… ya ampun.. saya seperti berada di suatu peti terang yang hanya memiliki jarak pandang sekitar 10 cm saja. Hemmmm nggak lagi ah!

Besok sorenya pemeriksaan Electromyography (EMG) dilakukan, dikarenakan pemeriksaan ini dilakukan di setiap hari senin dan kamis sore saja setiap minggunya. Pemeriksaan ini betul-betul sangat tidak enak, mulanya saya di strum oleh semacam garpu tala dengan kadar strum yang lebih besar dari waktu fisioteraphy. Walaupun sudah diberitahukan untuk siap-siap, tetap saja saya teriak kaget ketika alat itu menyentuh di beberapa bagian lengan, kaki dan leher. Rupanya nggak berakhir disitu penderitaan saya… sesi berikutnya adalah ditusuk jarum di pundak saya dan pada saat bersamaan saya harus mengepakan tangan melawan cengkraman kuat sang dokter, sengaja agar bisa terlihat apakah syaraf masih berfungsi atau tidak. Ternyata ada lima titik yang berbeda yang harus saya terima, dengan pola yang berbeda pula, tapi semuanya di sekitar lengan sebelah kiri. Mereka menjelaskan walaupun sakitnya di leher tapi titik-titik syaraf di lengan tadi dapat mengidentifikasikan fungsi syaraf di leher. Ohhhhhh begitu ya..

Hari jumat adalah hari yang paling menentukan, semua hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan akan dianalisa oleh Dokter Koes dan Dokter Bedah Syaraf dan akan ditentukan langkah selanjutnya…. Alhamdulillah, Dokter Koes membawa kabar baik, bahwa penjepitan itu bersifat ringan, tidak diperlukan operasi, hanya saya diharuskan menggunakan collar leher jika sedang beraktifitas yang mengharuskan saya menunduk lama, terutama saat saya sedang mengetik depan computer. Selain itu diharuskan tidur tanpa bantal atau bantal tipis saja. Selama ini saya melakukan kesalahan, mengetik di depan komputer tanpa ada perubahan layout secara rutin, ya saya bekerja nyaris 12 tahun, dilalui dengan bekerja depan komputer dari jam 8 pagi sampai jam 5 bahkan lebih, dan tidur dengan menggunaan dua bantal airland di setiap malamnya. Semua aktifitas selama 24 jam itu membuat leher selalu dalam keadaan menekuk.

Akhirnya pukul 01;00 di hari jumat tanggal 8 September 2006 saya meninggalkan ruangan bontang, suatu kenangan dan pelajaran yang tidak akan pernah saya lupa. Karena ini kejadian yang terakhir buat saya. Amien…..

Ps: Terimakasih buat Dokter Koes dan tim nya, dan suster-suster RSPP beserta asistennya yang sedemikian telaten dan telitinya membantu saya dalam proses penyembuhan, juga buat teman-teman kantor untuk kunjungan dan doanya.
 
posted by Giel at 5:24 PM | Permalink |


4 Comments: