Thursday, May 25, 2006
Bumi Kalimantan yang kutahu dulu….
Kota Banjarmasin adalah kota yang pertama kali aku injak di pulau Kalimantan awal tahun 1993 lalu, menggunakan Kapal Tatamailau selama satu hari satu malam dari kota Semarang. Awalnya Pasar Terapung sebagai tema yang dipilih untuk bahan tulisan skripsi menggoda hati untuk diketahui sebanyak-banyaknya, terutama pada dampak pola perkembangan ekonomi di sekitar wilayah Kuin Utara sebagai focus penelitiannya. Beruntung ada kawan saya yang menetap di kota Banjarmasin mengikuti tugas suaminya, sehingga jadilah saya ikut tinggal disana sebagai base camp-nya. Thanks ya Myke dan Mas Agus.

Nyaris setiap harinya saya datang ke lokasi sebelum sang fajar menyingsing di ufuk timur untuk mengambil data dan wawancara dengan pedagang diikuti oleh aktifitas wawancara dengan ahli kebudayaan Banjar dan tokoh masyarakat, staf pemerintahan terkait dan melakukan studi literatur di berbagai perpustakaan. Menikmati suasana pasar tradisional yang unik, karena penjual dan pendatang hilir mudik dengan menggunakan perahu, sambil sesekali juga membeli kue sebagai pengganjal perut di saat perut yang sudah harus mendapatkan haknya…..

Selain masyarakat setempat yang melakukan transaksi sehari-harinya disana, lokasi tersebut dijadikan sebagai lokasi wisata untuk para pendatang. Bisa jadi ini andalan pariwisata di propinsi ini, selain hutan dan aksi budaya lainnya.

Setelah dua bulan menetap disana, dengan penuh yakin saya pulang ke Bandung untuk mencoba mengolah data, yang sebelumnya saya sempatkan juga jalan ke kota Kandangan, 6 jam dari Banjarmasin dengan kendaraan elf, tempat dimana kakak sepupu menjadi guru dan kepala sekolah di sekolah SLB di kota tersebut. Entah, waktu dulu adrenalin saya begitu besar sehingga perjalanan saya yang sendiri itu terasa ringan tanpa rasa takut…..

Ditengah pergulatan dengan data yang harus diolah, suatu saat saya bertemu dengan salah seorang dosen yang baru pulang doctor dari Berkeley University. Sebelumnya saya bercerita bahwa saya sudah melakukan research di Banjarmasin, namun Bapak Prof. Oekan Soekotjo Abdoellah, menawarkan studi research lain, tapi masih berlokasi di Kalimantan. Tawaran yang langsung saya sambut, mengingat saya bisa mendapatkan ilmu dan pengalaman lain tanpa harus mengeluarkan dana untuk skripsi, pikir saya saat itu…. Tidak ada kata sia-sia, data pasar terapung yang sudah diperoleh masih tetap tersimpan dan menjadi bagian dari kenangan….

“Diagnostic Study of Community Forest Management Project in Diak Lay Village, East Kalimantan” nama proyek penelitian yang didanai oleh Ford Foundation bekerja sama dengan Institute of Ecology (PPSDAL UNPAD). Selama dari bulan Mei sampai September di tahun 1993, saya sebagai asisten peneliti bergelut dengan berbagai aktifitas guna mendukung lancarnya penelitian ini. Saya bersama seorang teman mahasiswa dari jurusan biologi, Novi Tanalepi… (dimana kamu sekarang?) beserta dua orang dosen (Kang Budhi dan Pak Herry) menjadi satu tim yang sangat solid.

Lokasi Penelitian di suatu desa terpencil di kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai ditempuh dengan kapal air menyusuri sungai Mahakam dengan waktu tempuh 2 hari satu malam dari ibukota propinsi, Samarinda, namun jika musim kemarau lokasi kelurahan dapat ditempuh dengan jalan darat melalui jalan logging. Mal-adaptasi yang dilakukan selama perjalanan yakni tidak mandi, gosok gigi dan menahan untuk buang hajat. Memang di setiap kapal memiliki ‘kamar mandi’ di ujung buritannya, namun rasanya semua orang dapat melihat pemandangan lain tanpa cela, selain itu kami sengaja menempatkan diri duduk di tempat terdepan dekat kemudi, karena menjauhi polusi suara diesel motor temple. Maka, jika kami harus kepepet ke tempat itu, sepanjang kapal itu, sekitar 12m, kami harus jalan merunduk meminta ijin jalan dan mohon maaf terlangkahi… wah!



Beruntungnya selama kami disana, dapat melihat secara langsung life cycle yang dibalut oleh adat istiadat yang relative masih kental namun nyaris terkikis, dari mulai acara kelahiran, menikah sampai meninggal dunia. Masih ingat betul, minggu pertama datang ke desa Diak Lay, ditepi sungai Telen, disambut oleh suasana duka dengan meninggalnya salah seorang sesepuh disana. Sayangnya dampak modernisasi sudah terserap oleh masyarakat setempat, yang biasanya malamnya diadakan acara berkumpul dengan menarikan tarian ‘kejien’, sekarang diisi oleh joget dangdut bersama… namun, rasa kebersamaan dan gotong royong masih sangat kental terlihat sampai kami meninggalkan desa itu, karena setiap aktifitas keseharian mereka selalu bersifat cluster dan pola perkawinan mereka cenderung endogamy (antar kerabat).

Desa Diak Lay artinya adalah desa yang berada dibawah pohon (Diak: pohon dalam bahasa dayak wehea) Lay, berpenduduk 208 jiwa saat itu, nyaris kami mengenal mereka semua, karena tinggal di areal pemukiman yang berdekatan. Rumah mereka terbuat dari kayu, namun sudah tidak setinggi rumah di jaman dahulu, ketika masih terjadinya konflik antar suku.

Mereka terkondisikan menjadi masyarakat yang berada di kawasan hutan, sehingga pola mata pencahariannya sangat mengoptimalkan sumber daya yang ada disekitarnya, dari mulai berburu, membuka lahan untuk kebun dan berladang dengan pola berpindah (ladang berpindah). Pola ini sangat bersinggungan dengan sistem kebijakan pemerintah dan pihak HPH yang saat itu sudah menggaungkan ‘power’nya guna mempertahankan ekosistem hutan. Banyak sekali pernyataan miring tentang deforestasi oleh para peladang berpindah, padahal kalau tahu saja apa yang di lakukan oleh sebagian HPH yang tidak bertanggungjawab, amatlah mengerikan… pola TPTI (tebang pilih tanaman Indonesia) sudah berubah menjadi Tebang Pasti Tanam Insyaallah….

Dikarenakan masyarakat sering tinggal di hutan dekat ladang, sehingga mau tidak mau saya pun harus tinggal dengan mereka di sana. Begini situasinya…

Ketika malam hanya ditemani sepi dan lolongan anjing pemburu
Ketika hanya dipayungi oleh terangnya purnama dan kedipan bintang
Ketika diselimuti kabut yang menjamah di setiap pagi
Ketika pagi matahari yang menyembul garang di ujung horizon hutan
Ketika siang hanya dilindungi awan yang lincah berpindah cepat
Ketika setiap saat disajikan udara yang lembab dan bau kayu terbakar
Ketika saat tersadar betapa alam memberi arti buat mereka
Ketika mereka membalas semua kebaikan alam dengan caranya
Ketika kutahu, konsep dan strategi tradisional merekalah yang menyelamatkan hutan,
Bagian hutan Kalimantan, hutan kita, paru-paru negara….


Saya nyaris hapal jalan setapak yang menghubungkan antara desa dengan ladang yang berjarak sekitar 8 km, langkah cepat saya hanya terhenti sejenak, mengambil ancang-ancang jika saya harus meniti jembatan sebilah kayu yang banyak bertebaran disana, atau ketika pemandu jalan, Han Geah namanya, mengibaskan parangnya membelah ranting yang menghalangi jalan, terjadi pula saat itu, saya kaget setengah mati, parang yang dikibaskannya itu berdarah-darah, ternyata seekor biawak melintas dan nyaris menyerangnya! Layaknya seorang Indiana Jones mencari harta karun berupa data :P saya malang melintang di jagat raya hutan wilayah itu tanpa rasa ciut dan gentar. Gile benerrrr, saya gak habis mengerti sekarang, lho kok mau ya… kok bisa ya… he he he… maklum kehidupan metropolitan sudah banyak meracuni jiwa!



Suka dan duka datang bergantian selama proyek penelitian itu berlangsung. Duka ketika merasakan kangen pulang ke tanah jawa dan ketika saya merasakan nyaris mati karena jatuh dari tangga kayu sehabis mandi dan terseret di sungai sejauh 10 meter, dengan hilangnya pakaian dan ember yang baru tercuci di sungai itu.

Makanan bukan menjadi masalah buat saya walaupun saya harus memetik kangkung atau pakis dahulu untuk dimasak hanya dengan garam, atau menu yang paling wah adalah ayam yang menjadi hewan langka di desa itu. Pernah suatu sore, saya berniat menuju satu rumah untuk wawancara, namun di depan salah satu rumah terlihat ada yang sedang mengaduk-aduk kuali yang besar, wangi harum masakan lezat sudah tercium dari jauh, nampaknya akan ada kenduri, tapi kok tidak ada pemberitahuan ya… pikirku saat itu… atau mungkin lupa… atau belum…. Dengan harap-harap sambil mengingatkan mereka bahwa kami masih ada di sekitar mereka, saya menyapa dengan amat sangat ramah, waktu itu saya sudah bisa berbahasa dayak wehea sedikit-sedikit, saya tanyakan wah, akan ada pesta ya nanti? Dengan tawa khasnya bapak tua yang bertopi itu langsung menjawab pertanyaan saya, oh, kalian suka juga dengan daging ini? Sambil mengangkat daging ular utuh yang belum terpotong dengan panjang sekitar 2 meter!!! Ampun! Saya langsung pusing dan mual, segera saya ngacir tanpa sepatah katapun!

Ada satu kejadian yang membuat saya malu, ketika itu saya sedang menjemur pakaian di samping rumah, tanpa disadari seekor anak babi memperhatikan semua tingkah polahku dengan dengusannya tepat di tengah jalan yang harus saya lalui jika pulang. Saya melirik dia masih asik tuh menatap… waduh, kejadian nih! Betul saja, saya dikerjarnya ketika saya mencoba untuk melewatinya… semua warga yang melihat terpingkal-pingkal melihat kejadian itu. Dasar babi badung! He he he …

Ini semua sebagian kecil dari perjalanan saya di bumi Kalimantan, ingin sekali napak tilas kesana hanya untuk beberapa hari saja…. Apa masih adakah masyarakat yang mempertimbangkan kosmis lingkungannya melalui pengetahuan lokal dan teknologi yang sederhana? Hanya untuk direnungkan….
 
posted by Giel at 10:55 PM | Permalink |


0 Comments: