Sunday, April 30, 2006
Banda Aceh, antara kopi dan laki-laki berhidung tinggi…
Malam itu, hari pertama, kami berlima menyempatkan diri untuk singgah di suatu warung kopi Wareeh, yang artinya keluarga, setelah kami makan malam di depan hotel… sungguh, baru kali itu saya makan malam banyak dengan menu ikan tongkol bumbu kari… zlruppp sedap, biasanya saya rada anti dengan bumbu kari, tapi untuk kali ini,gak ada ampun saya makan begitu lahapnya. Betul juga, dari beberapa info dari milis yang sudah pernah ke kota ini, mereka pada umumnya begitu membanggakan makanan yang enak dan tentunya kopi.

Warung kopi itu masih ramai di kunjungi, ada yang bergerembol, kebanyakan laki-laki, namun terlihat pula ada pasangan yang sedang mengorol, asik betul. Warung kopi itu, dan hampir rata-rata warung kopi yang ada disana, memakai pola bangku kayu dan kursi plastik yang bisa duduk nyaman dan santai, namun banyak pula yang hanya menggunakan bangku kayu sederhana.

Kami memesan kopi setengah manis, terbayang di benakku adalah sajian kopi dengan gelas besar dan panas, seperti di Jawa, namun ternyata tidak, mereka menyuguhkan dengan cangkir kecil, tidak ada ampas dan tidak begitu panas, sehingga bisa langsung di nikmati. Hirupan kopi pertama itu yang langsung membuat saya lagi-lagi jatuh cinta dengan rasanya. Betul yang dibilang Pak Nasir, supir taxi kami, bahwa banyak yang bilang kopi tradisional aceh begitu terasa hingga ke kepala.. ha ha ha… terbukti sudah!

Cukup satu cangkir kopi setengah manis untuk malam ini pikirku, khawatir tidak dapat tidur, namun ternyata tidak ada pengaruhnya, tetap saja saya bisa tertidur pulas malam itu.

Satu cangkir kopi setengah manis saya nikmati pula di siang hari tanpa ada rasa bosan, bahkan membuat saya cukup ketagihan. Saya memang penikmat kopi, sehari-harinya saya minum kopi di pagi dan sore hari di Jakarta, tapi baru kali ini saya angkat jempol untuk rasanya. Kopi tradisional itu diolah secara khas dengan cara direbus dengan panci besar dan di saring oleh kain yang diangkat tinggi-tinggi guna mengurangi rasa panas, sehingga jika kopi siap disajikan dapat langsung di nikmati.

Siang itu, saya menikmati kopi di sebuah warung yang cukup besar di Ulee Kareng, katanya direkomendasi dapat memuaskan untuk orang-orang penikmat kopi. Warung Jasa Ayah siang itu terlihat hiruk pikuk oleh penuhnya pengunjung disana, dari luar warung hingga ke belakang dekat parkir. Hampir semua gerombolan pengunjung adalah laki-laki, semenjak saya masuk hingga saya meninggalkan tempat itu, saya hanya melihat empat orang wanita, termasuk saya.

Pertanyaan kenapa banyaknya laki-laki yang datang, di jawab dengan kelakar oleh pak Nasir, Bu, biasanya yang minum kopi dan keluar rumah adalah laki-laki, perempuan mana sempat ngopi dan ngobrol seperti ini, mereka sudah terlalu disibukan oleh tugasnya di rumah… weleh, gender banget!

Namun cukup masuk akal juga, ngopi untuk warga aceh sudah merupakan budaya yang sudah mereka kenal sejak dulu. Tiga kali ngopi di warung kopi setiap harinya dianggap lumrah oleh mereka. Jangan heran, warung kopi yang tersebar nyaris di setiap 20 meternya terlihat ada saja pengunjungnya. Namun warung-warung tersebut tutup menjelang waktu Azan berkumandang, katanya hanya 30 menit saja, dan mereka akan buka kembali. Harga yang sangat terjangkau oleh kocek setiap orang, seribu rupiah per cangkir, membuat budaya ini pun memang sulit untuk di tinggalkan.

Lelaki Aceh yang saya lihat disana, kebanyakan berhidung tinggi, bermata sedikit tajam dengan kulit sawo matangnya, membuat mata saya lumayan terhibur… he he he. Gak perlu biaya extra untuk beli insto disini rupanya, cukup datang saja ke warung kopi! Ingin sekali waktu berbincang dengan mereka untuk tahu apa yang mereka pikirkan tentang maknanya budaya minum kopi setiap hari untuk mereka, karena saya pikir, aktifitas tersebut cukup menyita waktu. Hem, tapi mau gak mau ya, saya juga harus membiasakan diri dulu dengan ritmenya mereka, lha kapan saya kerjanya kalau saya disana?

Membayangkan minum kopi dirumah, membuat saya membeli beberapa bungkus kopi dengan harga yang relative murah, sepuluh ribu rupiah untuk 250gram. Namun, setelah dipraktekan dirumah sendiri, kopi masih enak tapi ada rasa yang kurang… tidak ada yang saya lihat laki-laki berhidung tinggi itu…..
 
posted by Giel at 5:26 PM | Permalink |


0 Comments: